Kamis, 02 Agustus 2012

Puzzle 2 : Plamboyan di sudut lapangan

Hari pertama tahun ajaran baru 2001/2002, Semua siswa kelas 3 sibuk mencari nama mereka pada papan pengumuman yang di tempel di masing masing kelas yang sudah diberi nama di depan pintu, jika nama mereka ada dalam daftar tersebut maka disitulah kelas barunya. Para siswi akan sedikit ribut dengan tertawa ketika menemukan namanya,apalagi saat bisa sekelas dengan orang yang diharapkan. Siswa laki-laki juga tak beda, secerah bunga plamboyan yang baru bermekaran di lapangan. Tahun ini kurikulum SMU membagi kelas 3 menjadi tiga jurusan, IPA (Ilmu pengetahuan Alam), IPS (Ilmu pengetahuan Sosial) dan Bahasa. Berbeda saat kelas satu dan kelas dua, kelas penjurusan menitik beratkan pada pelajaran sesuai jurusannya. Selain Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan olah raga yang semua jurusan dapatkan,Jurusan IPA hanya akan belajar Biologi, Fisika, kimia juga matematika setiap harinya. Jurusan IPS hanya akan belajar, Ekonomi, akuntansi dan Sosiologi. Bahasa hanya akan belajar bahasa dan sastra indonesia, bahasa dan sastra inggris, sejarah dan pilihan bahasa Asing . Tahun ini Bahasa Asing yang dipelajari adalah Bahasa Jepang. Penjurusan ini dipilih oleh para siswa sendiri disesuaikan dengan nilai prestasinya. Selain ada yang tertawa bahagia, yang kecewa juga ada. Mereka yang ingin masuk IPA tapi nilainya tak memenuhi syarat akan terlihat semurung awan yang digelayuti hujan. IPA, sepanjang ada penjurusan seperti ini (sejak bertahun-tahun yang lalu dan mungkin beberapa tahun ke depan) menjadi jurusan terfavorit dan paling bergengsi, karena isi pelajarannya yang exact semua, sedang bahasa akan dianggap menjadi jurusan yang paling ringan pelajarannya. Bahkan di sebagian sekolah di kota besar tak mengenal jurusan bahasa karena tidak ada peminatnya.
 Diantara sibuknya para siswa , Raisya memasuki pintu gerbang sekolah SMA PLAMBOYAN dengan sedikit berdebar. Pikirannya melayang ke beberapa minggu yang lalu saat sahabatnya, Tia, terkejut mendengar dia memilih jurusan Bahasa.
“Duh, Sya, kenapa milih bahasa, mending masuk IPA. Nanti aku minta ibuku supaya kamu dan aku sekelas sama Mahesa” Tia sedikit kecewa, tapi lebih tepatnya takut jauh dengan Raisya yang sejak dari SMP selalu satu kelas.
“Emang Bisa?”. Raisya menyipitkan matanya yang memang sudah sipit.
“ Bisa dong, setiap guru boleh minta siswa ini ditaro dimana dan dimana.” Jawab Tia yakin, karena ibunya memang guru di sekolah itu. Raisya hanya tersenyum tanpa berkata apapun.
“Kalau kamu masuk IPA kita bisa bareng-bareng lagi. Lagian kan nilai IPA kamu bagus semua,kenapa mesti masuk bahasa sih”
“Emang ada aturan kalau masuk bahasa nilai Exacnya harus jelek, trus emang kenapa dengan bahasa,? aku ingin belajar bahasa Jepang. Bahasa adalah satu-satu jurusan yang ada Nihon go nya”
“Bukan gitu maksudku, tapi kalau kamu masuk IPA kan bisa deket sama Mahesa” Bujuk Tia lagi, tapi Raisya tetap pada keputusannya. Baginya bahasa adalah pilihan terbaik, karena selain dia jatuh cinta pada bahasa Jepang, ada kemungkinan dia tak bisa meneruskan ke perguruan tinggi yang mematikan apapun cita-citanya. Dan mengenai Mahesa, dia telah menyukai teman sekelasnya itu selama 2 tahun sejak pertama masuk sekolah ini, tapi tak pernah ada kemajuan apapun dalam hubungnya selain sebagai teman sekelas.
“Apa gunanya dekat dengan dia, tak akan merubah apapun” Bayangan percakapan itu menghilang ketika tanpa sadar Raisya sudah tiba di pintu depan kelas yang dituju. Dia mencari namanya untuk memastikan saja, Karena Kelas Bahasa hanya ada satu, maka akan mudah mencarinya. Ada beberapa teman lamanya dari 2.2 yang masuk bahasa, tapi tak ada satupun dari sahabat dekatnya di sini. Dari lima sekawan, yang 2 orang masuk IPA dan 2 yang lagi masuk IPS, hanya Raisya yang masuk bahasa.Sesaat Raisya merasa sendiri, tapi ketika masuk kelas semuanya beda, kelas ini terasa hangat untuknya. Ada teman yang dulu sekelas sudah cukup baginya untuk merasa nyaman, Raisya bisa berbaur dengan yang lain.
Di deretan bangku kedua dari depan, tepat disamping kaca jendela, Acie asyik berkenalan dengan teman barunya. Dengan ribuan siswa dan kurang lebih 35 kelas bisa memungkinkan kita tidak kenal dengan teman satu SMA meski itu satu angkatan. Jika tidak pandai bergaul, bukan siswa teladan dan bukan anak paling badung, kita hanya akan bisa mengenal satu kelas saja. Acie adalah salah satunya. Tidak seperti Raisya yang lumayan cukup tahu (meski tidak kenal),dia tahu apakah teman barunya dari kelas 2.4 atau 2.6 .Acie hanya kenal dengan teman sekelasnya yang selama ini dia kurang percaya diri di dalamnya. Tak ada satupun sahabatnya di 2.10 memilih bahasa, yang menjadikan dia kurang semangat dan merasa sendiri di kelas ini lalu membuat dia ingin cepat-cepat pulang dan kumpul dengan sahabat masa kecilnya di luar sekolah. Tapi semua berubah saat takdir menuntunnya sebangku dengan Nia dari kelas 2.4. Ada banyak kesamaan antara dia dan Nia salah satunya rumah yang satu arah dengannya. Sementara semua sibuk dengan kelas barunya, Mutiara gadis tambun berkacamata dengan tenang masuk ke ruang osis. Dia tidak ikut sibuk seperti siswa lain yang mencari kelas apa dan sekelas dengan siapa?. Dia tak peduli seolah bukan bagian dari siswa kelas 3, bahkan dia tak tertarik sama sekali kelasnya terletak dimana. 3 hari pertama, seluruh kepengurusan osis diberi surat dispensasi untuk tidak mengikuti pelajaran demi mengurus Masa Orientasi Siswa kelas 1. Sudah menjadi cukup alasan bagi Rara mengapa dia tak pergi ke kelas barunya.
 “Aku kelas 3B1, Kita gak sekelas lagi Ra, coba kalau kamu masuk IPA pasti kita bisa sekelas lagi, sekarang aku jadi gak ada teman.” Icha mengadu dengan manja saat sahabatnya baru saja duduk di sofa ruang osis.
“Bukan ga ada tapi belum pada kenal, nanti juga akrab, lagian dari 2-1 juga banyak yang di 3B1 kan?. Kalau kamu kangen sama aku, main aja ke kelasku.” Rara seperti mencoba menghibur Icha, padahal dia menghibur dirinya sendiri.Sebenarnya Rara lebih takut menghadapi kelas barunya tanpa icha di sisinya. Dua tahun sekelas dengan Icha, rara seperti bayangannya, dimana ada Icha disitu Rara ada. Rara selalu berdiri dengan bantuan sahabatnya ini, bahkan adanya dia di organisasi OSIS, Pramuka atau Dewan Keluarga Mesjid adalah atas dukungan Icha. Sahabatnya itu seperti kulit kerang yang keras melindungi mutiara di dalamnya. Maka situasi ini terbalik, seharusnya Rara lah yang mengeluh pada Icha.
 “Kamu belum liat kelas kamu Ra?”
“Bahasa kan Cuma satu, buat apa di cari”
“ Terus kamu ga nyari tahu kamu sekelas sama siapa aja?”
“Yang pasti, dari 2-1 itu Cuma aku dan hera, nobody else, selebihnya aku gak ada yang kenal. Jadwalku di kelas 1 berapa untuk hari ini?” Rara mengalihkan pembicaraan. Hatinya benar-benar takut berkenalan dengan orang-orang baru, kelemahannya adalah tak bisa beradaptasi dengan cepat ketika masuk lingkung baru.
“di 1-4, kamu sama Lani, acara hari ini pengenalan lingkungan sekolah.” Icha menyadorkan jadwal acara untuk hari ini sampai 3 hari ke depan.
 “Cha , aku di kelas B2” Lani masuk dengan wajah sedikit manyun, kata-katanya terdengar mengeluh. “Bagus dong, berarti kita tetanggaan” jawab icha singkat seperti tak tertarik
. “aku sekelas sama Fery” lanjut Leni dengan suara lebih pelan.
“Apa?!, “teriak Rara dan icha berbarengan. Sudah jadi rahasia umum diantara rara dan icha kalau Lani menyukai Fery si Ketua Exkul bela diri, sejak kelas satu SMA, sampai sekarang kelas tiga.
“Selamat laniku sayang” teriak Icha lagi sambil mengulurkan tangannya.
 “Bagus dong berarti Allah mendengar doa’amu, itu kan impianmu, bahkan mungkin doa yang sering kau pinta tiap sholat. Terwujud” jawab Rara antusias, dia ikut senang benar-benar ikut senang mendengar kabar sahabatnya ini. Sempat dia membantu jadi mak comblang antara Lani dan Fery, meski tak berhasil atau tak menghasilkan apapun.
“Semuanya jadi gak menarik lagi. Masalahnya aku malu sama dia, beberapa minggu yang lalu aku udah nembak dia dan hasilnya ditolak” jawab lani murung dan sangat bingung. Icha dan Rara membeku, tak tahu harus berkata apa lagi. ^_*

 Hari kedua tahun ajaran baru, Acie mulai bersemangat di dalam kelas bahasa, apalagi hari ini jadwal pelajaran Bahasa inggris yang sangat dia sukai, pelajaran yang menjadi alasan kenapa sampai dia mendarat di kelas bahasa. Tapi sayang, sang guru hanya memperkenalkan diri saja dan mengabsen para siswa yang juga demi perkenalan, belum mulai untuk belajar. Kini Achie mulai kenal dengan Raisya yang duduk di depannya, juga Rani dan Yani teman sekelas Nia. Satu sama lain berkenalan dan bercerita. Bahasa menjadi kelas yang istimewa ketika ternyata ketua osis dan salah satu rengrengannya ada dikelas ini, Ketua osis yang selalu ada di kelas IPA tahun ini ada di Bahasa. Dia masuk kelas sebentar kemudian melanjutkan tugasnya sebagai ketua yaitu mengurus anak kelas 1.
 Rara di hari kedua, belum menginjakkan kaki di kelas barunya, saat datang ke sekolah dia langsung masuk ruang osis seolah itu kelas barunya. Ruangan itu sepi, pengurus osis yang lain sudah di kelas masing-masing sesuai jadwal, ruangan itu hanya dipenuhi tas yang disimpan di meja dan kursi secara sembarangan dan kertas-kertas yang menumpuk.
 “Bruk” Rara menabrak seseorang ketika dia keluar dari ruang osis, kertas berhamburan di lantai.
“Sorry” orang yang ditabrak berjongkok memungut kertas yang berceceran.
“Aku yang minta maaf “ Jawab rara kemudian ikut berjongkok .Setelah selesai dia bangun dan mengangkat kacamatanya dengan punggung tangan, barulah dia bisa sadar siapa yang di depannya.
“ Fery. Kamu kelas apa?” Tanya Rara pada seseorang yang tinggi dan tampan dihadapannya. Dia Fery yang dibicarakan Lani kemarin. Seseorang yang disukai sahabatnya dan secara diam-diam disukai oleh dia juga. Tentunya pertanyaan ini basi, tapi dia hanya punya topik itu untuk dibicarakan.
 “B-2. Kamu kelas apa Ra?” Fery balik bertanya.
“Ehm,.. Be hese” jawaban Rara membuat Fery sedikit tercengang dan mengerutkan alisnya, niat Rara bercanda karena dia sedikit bosan saat mendengar orang menjawab, B-2,B-3 atau B-4 (dalam bahasa sunda hese sama dengan susah). Sejenak kemudian Fery baru tertawa, benar-benar reaksi yang amat lamban.Dia tersenyum manis sekali, entah apa yang ada dipikirannya, mungkin dia heran kenapa seorang Mutiara yang dikenalnya amat pendiam bisa bercanda seperti itu.
“Be hese yah,” Cuma itu yang keluar dari mulutnya.
“Kamu belum masuk kelas yah?, masih sibuk sama MOS nya?” Fery mengalihkan pembicaraan untuk menahan tawanya.
 “Iya, nih mau ke kelas 1-5, kamu sendiri ngapain berkeliaran di luar”
“hari ini giliran demo ekstrakulikuler bela diri di depan anak kelas 1”
 “owh… di kelas mana demo pertamanya, aku mau ke kelas 1-5” Mereka berlalu menuju kelas di dekat mesjid, tanpa mereka sadari seseorang dari pintu gerbang sekolah memperhatikan mereka dari kejauhan sedari tadi, sejak saat mereka bertabrakan. ^_^
Ada tiga pohon plamboyan di setiap sudut lapangan upacara Sekolah Menengah Umum Negeri Plambaoyan 1. Mungkin karena ini juga sejarahnya kenapa dinamakan SMU Plamboyan, atau mungkin hanya kebetulan semata. Pohon Plamboyan itu terletak di Sudut sebelah selatan, utara dan Timur. Ketiga pohon itu tak pernah mekar bersamaan, saat yang di timur mekar, yang di utara baru tumbuh daun yang hijau dan di selatan gundul karena daunnya berguguran. Setiap tahun bergantian seperti itu. Entah apa penyebabnya, entah apa penjelasan ilmiahnya, tapi kenyataannya seperti itu menjadikan Rara yang memperhatikannya membuat filosofi sendiri. Bahwa plamboyan yang bergantian mekar mengisaratkan pergantiannya siswa di sekolah ini, ada yang baru hijau untuk kelas satu, mekar untuk kelas dua dan gugur untuk kelas tiga yang akan segera meninggalkan sekolah.Mutiara memandangi Plamboyan di sudut lapangan sebelah timur yang kini tak ada daunnya sama sekali. Tepat didepan pohon itu ada sebuah kelas yang sebulan lalu (saat bunganya bermekaran) kelas itu masih bernama 3B2 atau 3IPA2. Setiap hari, setiap istirahat atau saat pelajaran sekalipun, Mutiara selalu mencuri pandang melalui jendela menuju kelas itu. Mencari sesosok bayangan yang selalu dia kenal meski jaraknya sejauh sekitar 20 meter atau lebih. Dari siluet bayangan matanya yang minus dia bisa memastikan bahwa orang yang berdiri di bawah plamboyan itu adalah kak Bayu, kakak kelasnya.

 Hari itu 28 Juni Mutiara bangun pagi untuk menyambut ulang tahunnya yang ke 17, tak ada ucapan atau perayaan dari keluarganya tak membuatnya bersedih karena dia dididik di keluarga yang tak pernah mementingkan soal seperti itu. Dia bersedih di hari ulang tahunnya bukan karena tak mendapatkan ucapan selamat,( sekali lagi seingat dia hidup tak ada bedanya hari ulang tahun dan hari biasa)melainkan dia sedih karena hari itu adalah acara perpisahan dan wisuda angkatan kakak kelasnya. Dia berangkat ke sekolah dengan membawa kamera yang isinya tinggal 5 klise lagi yang tersisa. Setiba di sekolah dia tak melihat satupun temannya, karena memang kelas satu dan dua libur karena acara perpisahan ini.
Di bawah plamboyan sebelah selatan dekat ruang osis, dia berdiri mencari seseorang sejak pagi sebelum pukul 7.
 “Ra, nanti aku minta filmnya satu yah, aku mau foto sama Kak Yandi” Icha sahabatnya menegurnya.
 “Iya boleh, sekalian tolong fotoin kak Bayu yah, nih kameranya pegang ma kamu” kemudian dia setengah berlari pergi
“Lho, kamu mau kemana, kenapa kamu ga nunggu aja sampai kak Bayu datang, jadinya nanti kalian bisa foto berdua” Icha mengejar Rara.
 “ Aku mau pulang, kayaknya aku ga enak badan, pasti sisa perjalanan dari jogja, pegang aja di kamu yah, aku nitip”
“Ra, ini terakhir lho kamu bisa ketemu kak Bayu, dia dah lulus,dia ga bakal ke sekolah ini lagi, mungkin dia akan melanjutkan ke luar kota”
 “Iya, tapi aku sakit perut” kemudian Rara benar-benar berlari untuk pulang.
Di rumah dia membenamkan kepalanya di bantal, agar tangisnya tak terdengar oleh siapapun. Jantungnya berdebar dengan kencang dan nafasnya terasa sesak. Dia bangun menyeka air matanya, lalu bercermin untuk membetulkan kerudungnya yang berantakan, setelah selesai dia duduk di bibir tempat tidur kemudian menjatuhkan tubuhnya lagi di kasur.
“ Hari ini terakhir kamu melihat Kayu Ra!, terakhir!. Dan kamu tak akan mungkin bisa bertemu dia lagi. Apa kamu pikir kak Bayu akan datang ke sekolah dan melihatmu? Tak mungkin. Hari ini terakhir dan dia tak akan kembali. Kenapa kamu di sini, dikamarmu, cepat pergi ke sekolah Ra, temui kak Bayu” Rara memaki diri sendiri dalam hati. Tapi dia tak bisa pergi ke sekolah, dia tak ingin berpisah dengan kak Bayu. Jika dia tak bisa bertemu lagi, maka biarlah tak bertemu, yang terpenting tidak ada kata perpisahan diantara mereka. Rara benar-benar takut jika dia berpisah maka dia tidak akan bertemu lagi dengan kak Bayu di masa depan.
 Saat Rara kelas satu, kelas kak Bayu terletak di depan Plamboyan sebelah utara, bunganya sering sekali mekar seperti mekarnya hati Rara yang mencari kak Bayu dikelasnya untuk kepentingan Ekstrakulikuler Pramuka. Saat Rara kelas dua, kelas kak Bayu pindah ke depan plamboyan sebelah timur yang berhadapan dengan kelas Rara di sebelah barat namun terhalang satu lapangan upacara, lapangan basket,dan lapangan voli. Bunga plamboyan ini pun selalu mekar saat rara melewatinya untuk pergi ke perpustakaan. Kini Plamboyan yang dekat ruang osis yang sedang mekar saat yang lain baru menghijau dan gugur, tapi kak Bayu tak ada, dia bukan lagi siswa dari sekolah ini. Mungkin ini bisa menjadi salah satu alasan Rara kenapa di hari pertamanya di kelas tiga dia lebih suka menghabiskan waktu di ruang Osis. Karena dari dalam ruang osis dia bisa melihat bunga plamboyan yang merah bermekaran. Seperti saat ini, dia lebih memilih untuk memeriksa tugas kelas satu yang diberikan di hari kemarin, meski jumlahnya ratusan kertas.
 “Ra, sini, ada kak Bayu nih di luar” Lani melongokan kepalanya ke dalam ruang osis tanpa masuk ke dalam.
 “Amien” jawab Rara yang tetap dalam posisinya membelakangi pintu dan melihat plamboyan dari jendela.Kata-kata itu sudah menjadi candaan biasa saat temannya menghibur dia agar semangat, sempat beberapa kali dia tertipu dengan bergegas keluar untuk menemui kak Bayu,tapi tak ada.
“Kok amien sih, kamu keluar deh, aku mau ke kelas 1-5 bentar, bentar yah kak” jawab Lani teriak dari luar ruang Osis. Rara terperanjat ketika sadar bahwa temannya itu gak bercanda kalau kak Bayu memang ada di situ, dia hafal betul dengan suara yang menjawab ‘iya’ dari luar. Dia bangun dari duduknya kemudian berlari ke luar, dan ternyata kak Bayu memang ada disini, kini dia sedang duduk melihatnya.
“Kak Bayu?” tanya Rara terperangah, dia melihat kak Bayu tersenyum kemudian Rara berlari masuk kembali ke ruang osis dengan salah tingkah meninggalkan kak Bayu yang keheranan. Di belakang pintu dia memejamkan matanya sejenak dan mereview sosok kak Bayu dengan celana coklat dan kaos oblong juga Ransel hitamnya. Penampilan yang jauh beda dari biasanya. Dengan menarik nafas dia kembali ke luar menemui orang yang selalu dia rindukan.
 “Icha kemana?” tanya kak Bayu saat Rara kembali menemuinya.
“Dia di kelas 1 -6 lagi bimbing anak kelas satu, kak Bayu mau ketemu Icha, biar aku panggilin, kakak tunggu di sini, ”Rara siap beranjak untuk pergi, tapi dia menahannya.
“ga usah, ga usah dipanggilin, aku cuma nanya aja” kemudian mereka saling membeku.
 “Kak Bayu ada apa ke sekolah” Rara merasa ini pertanyaan bodoh tapi ini wajib diluncurkan. Dia berharap kak Bayu menjawab ingin menemuinya, hanya untuk menemuinya, tapi ini juga harapan yang sangat lebih bodoh.
 “ehm..itu..” dia menjawab dengan sedikit bingung, bukan kebiasaan kak Bayu yang biasa tegas dan lugas.
“ Baju pramukaku yang dulu dipinjem itu masih ada ga?” katanya kemudian.
 “owh itu dipake kelas dua, aku kira kakak mau ngasih sebagai inventaris, makanya sampe sekarang ga dikembaliin ke kakak. Kakak mau ambil yah?”
“kalau ga dipake sih mau aku ambil” jawab dia.
 “Kalau gitu biar aku cari di ruang pramuka, kalau ga salah ada beberapa baju disana.Kali aja ada yang punya kak Bayu “
“ ga usah deh, nanti aja, kalau misalkan dipake sih ga pa-pa” jawab kak Bayu tergesa.
 “Emang nya kak Bayu mau pake buat apa, dikuliahan ga ada ekstrakulikuler pramuka kan?apa mau ada acara?.”
“ehnm..bukan, sayang aja kalau misal ga dipake, syukurlah kalau bajunya di pake” Kemudian mereka membeku lagi.
“ Kalau gitu aku pulang dulu yah ra” “lho, kakak ga mau nunggu icha atau lani”
“ga usah, yuk assalamualaikum”
“Waalaikum salam” jawab Rara pelan. Hatinya benar-benar ingin meledak melihat punggung kak Bayu yang semakin menjauh tanpa menoleh kembali ke belakang. Maka siluet dari punggung itu akan terbayang dalam beberapa waktu. Berharap sosok itu menoleh ke belakang , kenyataannya tidak terjadi atau mungkin Rara tak tahu karena biasanya dalam film dia akan menoleh saat Rara tak melihatnya lagi.
Bunga Plamboyan merah tertiup angin beterbangan melewati pandangan Mutiara. Gugur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar